Sidraptimur.Com, Jakarta – Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan terkait kasus ABG 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) yang disorot publik.
Agus beralasan tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus ABG tersebut.
“Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban,” kata Irjen Agus dalam jumpa pers di Polda Sulawesi Tengah, Kamis (1/6/2023).
Ia mengatakan kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur ini juga tidak dilakukan secara bersama-sama. Sebelas terduga pelaku disebutnya melakukan perbuatan tersebut sendiri-sendiri dan di waktu yang berlainan.
“Dalam kaitan dengan dilakukan secara bersama-sama, dari pemeriksaan pun sudah jelas dan tegas bahwa tindak pidana ini dilakukan berdiri sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara bersama-sama,” katanya.
Kapolda menjelaskan pelaku melakukan persetubuhan terhadap anak di bawah umur dengan iming-iming dan bujuk raju. Bahkan ada pelaku yang menjanjikan anak bertanggung jawab jika korban sampai hamil.
“Modus operandi yang digunakannya pun bukan dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan, melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, iming-iming akan diberikan sejumlah uang, akan diberikan sejumlah barang baik itu berupa pakaian, handphone, bahkan ada di antara pelaku yang berani menjanjikan akan bertanggung jawab jika korban sampai dengan hamil,” katanya,
“Kasus ini terjadi sejak April 2022 sampai dengan Januari 2023 dan dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda-beda, dilakukan secara berdiri sendiri, tidak bersamaan oleh 11 pelaku ini,” tambahnya.
Kapolda Sebut Bukan Pemerkosaan
Sebelumnya diberitakan, Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan terkait kasus ABG 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo). Dia meminta istilah pemerkosaan tidak lagi digunakan.
“Untuk diketahui bersama bahwa kasus yang terjadi bukanlah perkara atau kasus pemerkosaan ataupun rudapaksa apalagi sebagaimana kita maklumi bersama beberapa waktu yang lalu ada yang menyampaikan pemerkosaan yang dilakukan oleh 11 orang secara bersama-sama, saya ingin meluruskan penggunaan istilah itu,” ujar Agus.
“Kita tidak menggunakan istilah pemerkosaan melainkan persetubuhan anak di bawah umur,” lanjut Agus.
Agus mengatakan alasan dia mengganti istilah pemerkosaan menjadi persetubuhan anak karena mengacu pada aturan hukum yang berlaku.
“Mengapa? Karena apabila kita mengacu pada istilah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP ini secara jelas dinyatakan bahwa unsur yang bersifat konstitutif di dalam kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan, memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengannya di luar perkawinan,” tegasnya.
Diketahui, polisi telah melakukan penahanan terhadap 7 dari 10 tersangka dalam kasus ini. Pelaku ada yang berprofesi sebagai guru hingga kepala desa (kades).
Tinggalkan Balasan